Benarkah Opini Auditor Internal itu Penting?

opini audit internal

Benarkah opini auditor internal itu penting? Pertanyaan ini memang amat menggelitik. Sebab, beropini secara umum telah menjadi bagian penting kehidupan pribadi maupun ranah profesi. Dalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menjumpai opini di media sosial tentang baik buruknya layanan hotel dan transportasi, opini tentang menu restoran yang layak dicicipi, opini tentang canggihnya fasilitas gadget terkini serta berbagai macam opini lainnya. Saat berkumpul keluarga, kita bertukar opini masalah pribadi dengan suami, istri, orang tua, atau anak. Saat bertemu dengan rekan kerja, kita juga bertukar opini berbagai masalah pekerjaan yang kita hadapi. Opini-opini tersebut sering kita pakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengambil keputusan dalam keseharian hidup kita. Di negara kita, kebebasan beropini atau berpendapat bahkan mendapat jaminan perlindungan hukum pada level peraturan perundangan yang sangat tinggi, yaitu undang-undang dasar.

Dalam ranah profesi seperti auditor, opini juga tak kalah pentingnya. Tentu saja opini dalam ranah profesi bukanlah opini bebas melainkan opini yang dibangun berdasarkan sumber bukti, kriteria, pengetahuan, dan judgement secara profesional. Opini profesi audit yang paling banyak diketahui khalayak umum adalah opini hasil audit atas laporan keuangan. Opini audit tersebut dipandang sangat berharga karena diberikan oleh pihak yang dianggap profesional, objektif dan independen dari pembuat laporan keuangan, yaitu auditor eksternal.

Masyarakat Indonesia pun kini juga tak ketinggalan dengan perkembangan isu opini auditor eksternal, terutama sejak pemerintah Indonesia dapat menyusun laporan keuangan dan diberi opini oleh lembaga audit tinggi negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Opini BPK menjadi sarana “jualan” para pimpinan daerah, menteri ataupun presiden untuk menunjukkan prestasi dan akuntabilitas kerjanya kepada masyarakat. Saat Laporan Keuangan Pemerintah Pusat tahun 2016 memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (unqualified opinion) dari BPK, ruang berita berbagai media massa dipenuhi dengan kabar kesuksesan pemerintah tersebut, sebab itulah untuk pertama kalinya pemerintah pusat memperoleh opini audit level tertinggi. 

Terlepas dari adanya masalah pemahaman konsepsi yang kadang tidak tepat akibat adanya expectation gap antara pengguna opini dengan para praktisi audit, opini auditor eksternal atas laporan keuangan sudah berpengaruh besar dalam ruang pengambilan keputusan berbagai pihak, baik pada sektor swasta maupun pemerintahan. Karena itu, audit atas laporan keuangan tanpa adanya opini merupakan hal aneh.
Bagaimana halnya dengan auditor internal?

Sebagaimana dimaklumi, adanya auditor internal merupakan bentuk praktik good governance organisasi modern. Keberadaannya berfungsi membantu tugas pengawasan jajaran pimpinan tertinggi organisasi. Auditor internal dipandang berharga karena profesionalitasnya serta posisinya yang independen dari pihak-pihak yang diawasi. Dengan adanya auditor internal, jajaran pimpinan organisasi diharapkan memperoleh informasi objektif di samping laporan yang diperoleh langsung dari bawahannya. Supaya tidak ABS, asal bos senang. Dengan memiliki karakter kerja profesional, independen, dan objektif, semestinya auditor internal juga mampu memberikan opini layaknya auditor eksternal. 

“Memangnya auditor internal ada opininya ya? Apa perlunya?” begitulah pertanyaan yang saya terima saat menawarkan konsep penerapan opini audit internal dalam tesis saya. Saya pikir pertanyaan semacam itu wajar saja. Karena faktanya, penerapan opini auditor internal ini memang belum semaju dan seterkenal opini auditor eksternal.
Kenapa demikian? 

Penyebabnya antara lain karena kompleksitas sifat pekerjaan dan juga keengganan dari auditor internal itu sendiri. Robert Berry dalam tulisannya pada majalah Internal Auditor edisi Desember 2012 mengungkap paling tidak ada satu dari tiga hal berikut yang menjadi alasan auditor internal menolak untuk memberikan opini.

  • Ketakutan bahwa mereka harus berupaya keras untuk menjelaskan dan mempertahankan kesimpulan.
  • Kurangnya metodologi penilaian yang terstruktur.
  • Ketidakmampuan untuk mengklasifikasikan isu-isu sesuai dengan tingkat dampak (severity) dan signifikansinya bagi organisasi.

Robert Berry menganggap ketiga hal tersebut memang menjadi tantangan nyata bagi auditor internal, namun pada dasarnya ketiganya dapat diatasi dengan merancang pengumpulan bukti yang cukup, mengembangkan metodologi penilaian berkolaborasi dengan klien, mengomunikasikan metodologi tersebut secara efektif dan menerapkannya secara konsisten.

Selain alasan yang diungkap Robert Berry di atas, ada pula pihak yang menganggap opini audit internal tidak penting karena fokus audit internal adalah mendukung pencapaian tujuan organisasi yang tercermin dari rekomendasinya. Rekomendasi yang mampu memberi solusi adalah kunci sukses auditor internal. Dengan begitu, muncul anggapan bahwa rekomendasilah yang menjadi prioritas utama auditor internal, bukan opininya. Saya kurang sependapat dengan anggapan seperti ini.

Bagi saya, opini dan rekomendasi bukanlah substitusi. Tidak saling meniadakan antara yang satu dengan yang lainnya. Keduanya adalah komplementer atau saling melengkapi. Opini audit internal tidak dimaksudkan untuk menggantikan hasil audit internal yang mengungkapkan temuan dan rekomendasi, tetapi menambahkan suatu kesimpulan umum tertentu. Opini dan rekomendasi sama-sama diperlukan oleh jajaran manajemen. Opini diperlukan untuk memberikan gambaran level kualitas atau baik buruknya objek yang diaudit secara umum sedangkan rekomendasi diperlukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan tertentu yang ditemukan.

Coba perhatikan! Jika sebelumnya dinyatakan bahwa kunci sukses auditor internal adalah pada rekomendasinya, seharusnya auditor internal akan dipandang berhasil jika rekomendasinya itu diikuti oleh jajaran manajemen. Namun, untuk mau bergerak mengikuti rekomendasi auditor internal, jajaran manajemen perlu bukti yang meyakinkan bahwa secara umum memang ada kondisi buruk dalam organisasi yang perlu diperbaiki. Mana mungkin mereka mau mengeluarkan sumber daya ekstra jika tak ada tanda kegawatan yang nyata? Demikian pula sebaliknya, agar jajaran manajemen nyaman melanjutkan program atau kegiatan tertentu maka mereka perlu juga jaminan yang meyakinkan bahwa program atau kegiatan tersebut dalam kondisi baik, risikonya tertangani, dan pengendaliannya berjalan efektif.

Dari ilustrasi di atas nampak sekali bahwa manajemen sesungguhnya tak hanya ingin melihat masalah-masalah secara parsial. Mereka ingin ada keyakinan terhadap kondisi secara keseluruhan. Keyakinan-keyakinan semacam itu dapat diperoleh hanya jika auditor internal menyatakan opininya secara jelas. Tanpa adanya opini yang jelas, manajemen harus berupaya ekstra untuk menginterpretasikan sendiri hasil audit internal yang diterimanya. Secara konsep, adanya keyakinan memadai yang berasal dari pendapat independen auditor adalah esensi dari fungsi assurance. Dengan demikian, adanya pernyataan opini audit internal pada hakikatnya merupakan wujud berjalannya fungsi assurance audit internal yang efektif.

Pada organisasi besar, pemberian opini audit internal atas berbagai elemen organisasi menjadi penting agar jajaran pimpinan organisasi mendapatkan peta kualitas dari berbagai elemen tersebut. Adanya opini ini langsung dapat memberi petunjuk kepada pimpinan organisasi mengenai area-area yang kritis atau berisiko tinggi. Selanjutnya, dari opini tersebut pimpinan organisasi akan lebih mudah mengidentifikasi elemen-elemen mana yang lebih memerlukan perhatian khusus. Pemberian opini juga dapat mendorong terciptanya budaya persaingan kerja yang sehat apabila para penanggung jawab berbagai elemen organisasi saling berlomba untuk memperoleh opini yang baik dari auditor internal.

Apakah praktik opini audit internal ini sudah ada best practices-nya? Iya, praktik tersebut didukung oleh The Institute of Internal Auditors (IIA) yang dikenal sebagai organisasi profesi internasional para auditor internal. IIA menunjukkan dukungan tersebut melalui standar dan pedoman yang diterbitkannya. Pemberian pernyataan opini dianjurkan dalam Standar IIA (2016) Nomor 2410.A1 yang menyatakan:

Final communication of engagement results must include applicable conclusions, as well as applicable recommendations and/or action plans. Where appropriate, the internal auditors’ opinion should be provided.

Meski tidak mewajibkan, pernyataan standar tersebut amat menyarankan adanya opini auditor internal pada kegiatan yang dirasa tepat. Tidak diwajibkannya opini bukan berarti opini tersebut tidak penting, tapi IIA sepertinya menyadari bahwa tidak semua kegiatan audit internal dapat menghasilkan opini. Lebih lanjut, Standar IIA Nomor 2450 mengatur mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan saat memberikan pernyataan opini secara menyeluruh (overall opinion).

Pada level pedoman, IIA pada tahun 2009 telah menyediakan pedoman praktik pemberian opini dalam sebuah Practice Guide berjudul Formulating and Expressing Internal Audit Opinions. Secara pokok, pedoman tersebut berupaya menerangkan makna dan bentuk opini audit internal berikut cara-cara perumusannya. IIA melalui lembaga risetnya juga mendorong penerapan opini audit internal melalui model pengukuran kapabilitas audit internal sektor publik yang dinamai Internal Audit Capability Model (IA-CM). Dalam model tersebut, adanya opini audit merupakan keharusan jika unit audit internal sektor publik ingin menuju kapabilitas peran dan layanan level 4 (managed) dari lima tahapan kematangan yang ada. Opini yang harus diberikan untuk memenuhi kriteria tersebut adalah terkait efektivitas tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan proses pengendalian dalam memberikan keyakinan memadai terhadap pencapaian tujuan organisasi.

Di sektor pemerintahan Indonesia, Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia (2014) yang pada dasarnya mengacu Standar IIA juga mengatur tentang opini atau disebutnya sebagai pendapat auditor dalam Standar Nomor 4010. Standar tersebut menegaskan bahwa komunikasi akhir hasil penugasan audit internal harus berisi pendapat auditor dan/atau kesimpulan. Pada sisi lain, penilaian kapabilitas audit internal sektor publik berdasarkan IA-CM juga telah diadopsi oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) melalui Peraturan Kepala BPKP Nomor 16 Tahun 2015 tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP). Pedoman tersebut rupanya juga mendorong APIP atau auditor internal instansi pemerintah untuk memberikan opini. Hal itu terlihat dari salah satu  key process area kapabilitas level 4 untuk elemen peran dan layanan, yaitu:

APIP telah melaksanakan kegiatan pengawasan yang cukup dalam rangka pemberian opini atas efektivitas dan kecukupan tata kelola organisasi, manajemen risiko, dan proses pengendalian secara menyeluruh.

Melihat manfaat dan best practices di atas, apakah konsep pemberian opini audit internal ini memang sudah mendesak untuk diterapkan pada organisasi-organisasi di Indonesia? Saya senang jika Anda dapat berkomentar dan berbagi pandangan. (hrs)

Referensi:
  • AAIPI. (2014). Standar Audit Intern Pemerintah Indonesia. Jakarta: Asosiasi Auditor Intern Pemerintah Indonesia.
  • Berry, R. (2012). Your Opinion Matters. Internal Auditor December 2012.
  • BPKP. (2015). Peraturan Kepala BPKP Nomor 16/2015 tentang Pedoman Teknis Peningkatan Kapabilitas Aparat Pengawasan Intern Pemerintah. Jakarta: Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.
  • IIA. (2009). Formulating and Expressing Internal Audit Opinions. Altamonte Springs, Florida: The Institute of Internal Auditors.
  • IIA. (2016). International Standards for the Professional Practice of Internal Auditing (Standards). Altamonte Springs, Florida: The Institute of Internal Auditors.
  • IIARF. (2009). Internal Audit Capability Model (IA-CM) for the Public Sector. Altamonte Springs, Florida: The Institute of Internal Auditors Research Foundation.
Load comments

Comments